Dosa dan Bahaya Riba

Dosa dan Bahaya Riba

 «وَأَحَلَّ اللهُ البَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا»

Dosa dan Bahaya Riba, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallahu ‘alahi wasallambersabda, “Allah melaknat orang yang memakan (pemakai) riba, orang yang memberi riba, dua orang saksi dan pencatat (dalam transaksi riba), mereka sama saja”. (HR. Muslim dan Ahmad)

Hadis yang mulia ini menjelaskan secara tegas tentang keharaman riba, bahaya yang ditimbulkan bagi peribadi dan masyarakat, serta ancaman bagi mereka yang berkecimpung dalam dosa riba, sebab Rasulullahshallahu ‘alahi wasallam menyebutkan laknat bagi orang- orang yang berurusan di dalamnya.

Akibat dari dosa riba ini telah dirasakan oleh banyak kalangan baik muslim mahupun non muslim, kerana riba merupakan kezaliman yang sangat jelas dan nyata. Sehingga wajar kalau Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallahu ‘alahi wasallam mengancam orang-orang yang telibat di dalamnya dengan berbagai ancaman. Di antaranya adalah dengan azab yang pedih, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan barang siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah:275)

Allah subhanahu wata’ala juga menghilangkan keberkahan harta dari hasil riba dan pelakunya dianggap melakukan tindakan kekufuran, sebagaimana firman-Nya,

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”. (QS. Al-Baqarah:276)

Allah subhanahu wata’ala memerangi riba dan pelakunya, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahawa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah:279)

Selain ancaman dari Al-Qur’an di atas, Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam juga menjelaskan bahaya riba dan sekaligus mengancam pelakunya, sebagaimana telah dijelaskan dalam hadis Jabir di atas.

Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam juga bersabda, “Jauhilah tujuh dosa besar yang membawa kepada kehancuran,” lalu beliau sebutkan salah satunya adalah memakan riba. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits yang lain Nabi shallahu ‘alahi wasallam mengancam pelaku riba dengan lebih tegas, beliau bersabda,

“Dosa riba memiliki 72 pintu, dan yang paling ringan adalah seperti seseorang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (Shahih, Silsilah Shahihah no.1871)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Hakim dan dishahihkan oleh beliau sendiri, dijelaskan, “Bahawa satu dirham dari hasil riba jauh lebih besar dosanya daripada berzina 33 kali”.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dengan sanad yang shahih dijelaskan, “Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari hasil riba dan dia paham bahawa itu adalah hasil riba maka lebih besar dosanya daripada berzina 36 kali”.

Bentuk Riba

Riba dibagi menjadi dua bentuk;

1. Riba Nasi`ah, yang bererti mengakhirkan masa pembayaran, ini terbagi menjadi dua;

  •  Seseorang atau perusahaan tertentu memberikan pinjaman kepada seorang nasabah dengan membayar bunga sekian persen dalam waktu tertentu dan dibayar dalam bentuk angsuran. Misalnya; seorang nasabah meminjam uang ke salah satu bank sebanyak RM10 Ribu dengan bunga 10% dalam jangka waktu 10 bulan, maka setiap bulan pihak nasabah harus mencicil hutangnya RM11 Ribu, jadi selama 10 bulan itu dia harus membayar Rm21 Ribu.

  • Pihak nasabah membayar tambahan bunga baru dari bunga sebelumnya disebabkan kerana tertundanya pembayaran pinjaman setelah jatuh tempo. Semakin lama tertunda pinjaman itu, maka semakin banyak tumpukan hutang yang harus ditanggung oleh pihak nasabah. Dalam kacamata Islam riba ini disebut riba jahiliyyah. Misalnya si A meminjam uang ke bank B sebanyak Rm100 juta dengan bunga 10% dalam jangka waktu 10 bulan, setiap bulannya pihak peminjam harus  Rp. 11 juta, maka selama 10 bulan itu dia paling tidak harus membayar Rm. 110 juta, jika dia tidak menunda pembayaran (ini sudah jelas riba). Tapi jika sudah jatuh tempo dan dia belum mampu melunaskan hutangnya maka hutangnya berbunga 15% dan begitu seterusnya (dalam keadaan seperti ini telah terhimpun dua bentuk riba sekaligus yaitu riba nasi`ah dan riba fadhl), dan inilah yang berlaku di bank-bank konvesional yang disebut dengan istilah bunga.

2. Riba Fadhl, yaitu jual beli dengan sistem barter pada barang yang sejenis tapi timbangannya berbeza, misalnya si A menjual 15 gram emas”perhiasan” kepada si B dengan 13 gram emas “batangan”, ini adalah riba kerana jenis barangnya sama tapi timbangannya berbeza. Contoh kedua; menjual dengan sistem barter  wang kertas senilai RM 100,000 - dengan wang kertas pecahan seribu senilai RM 95,000 - atau RM 110,000

Bekerja di Tempat/Lembaga Riba

Syaikh Shalih al-Fauzan ketika ditanya tentang bekerja di perusahaan yang bertransaksi dengan riba berkata, “Bertransaksi dengan riba haram hukumnya bagi perusahaan, bank dan individu. Tidak boleh seorang muslim bekerja pada tempat yang bertransaksi dengan riba meskipun persentase transaksinya minim sekali sebab pegawai pada instansi dan tempat yang bertransaksi dengan riba bererti telah bekerja sama dengan mereka di atas perbuatan dosa dan melampaui batas.

Orang-orang yang bekerja sama dan pemakan riba, sama-sama tercakup dalam laknat yang disabdakan oleh Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam,

 “Allah telah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, pencatatnya serta kedua saksinya”. (HR.Muslim). 

Beliau bersabda lagi,“Mereka itu semua sama saja.” (dalam andil menjalankan riba, red).

Jadi di sini, Allah melaknat orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, saksi dan pencatat kerana mereka bekerja sama dengan pemakan riba itu. Kerananya wajib bagi anda untuk mencari pekerjaan yang jauh dari hal itu. 

Allah subhanahu wata’ala berfirman (ertinya):

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, nescaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan menganugerahi nya rizki yang tidak dia sangka-sangka”. (Q,.s.ath-Thalaq: 2).

Dan sabda Nabi shallahu ‘alahi wasallam, “Barangsiapa meninggalkan sesuatu kerana Allah Ta’ala maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik darinya”.(HR. Ahmad). (Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan, Jld.IV, Hal. 142-143, No. 148)

Dampak Negatif Riba Bagi Peribadi dan Masyarakat

Sebagai bentuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Setiap umatku dijamin masuk surga kecuali yang enggan”. Para shahabat bertanya, “Siapa yang enggan masuk surga wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Barangsiapa yang ta’at kepadaku pasti masuk surga dan barangsiapa yang berbuat maksiat (tidak ta’at) kepadaku itulah orang yang enggan (masuk surga)”. (HR.al-Bukhari)

Ibadah haji, shadaqah dan infak dalam bentuk apapun tidak diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kalau berasal dari hasil riba, Rasulullahshallahu ‘alahi wasallam bersabda dalam hadits yang shahih,“Sesunguhnya Allah itu baik dan Dia tidak menerima kecuali dari hasil yang baik”.

Allah subhanahu wata’ala tidak mengabulkan doa orang yang memakan riba, Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Ada seorang yang menengadahkan tangannya ke langit berdo’a, “Ya Rabbi, Ya Rabbi, sementara makanannya haram, pakaiannya haram, dan daging yang tumbuh dari hasil yang haram, maka bagaimana mungkin do’anya dikabulkan.” (HR.Muslim)

Hilangnya keberkahan umur dan membuat pelakunya melarat, Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang memperbanyak harta kekayaan dari hasil riba, melainkan berakibat pada kebangkrutan dan melarat.” (HR.Ibnu Majah).

Sistem riba menjadi sebab utama kebangkrutan negara dan bangsa. Realiti menjadi saksi bahawa negara kita ini mengalami krisis ekonomi dan keamanannya tidak stabil kerana menerapkan sistem riba, kerana para petualang riba memindahkan simpanan kekayaan mereka ke negara-negara yang memiliki ekonomi kuat untuk memperoleh bunga ribawi tanpa memikirkan maslahat di dalam negeri sendiri, sehingga negara ini bangkrut.

Pengembangan kewangan dan ekonomi dengan sistem riba merupakan penjajahan ekonomi secara sistimatis dan terselubung oleh negara-negara pemilik modal, dengan cara pemberian pinjaman lunak.

Memakan riba menjadi sebab utama su`ul khatimah, kerana riba merupakan bentuk kezaliman yang menyengsarakan orang lain, dengan cara menghisap “darah dan keringat” pihak peminjam, itulah yang disebut lintah darat.

Pemakan riba akan bangkit di hari Kiamat kelak seperti orang gila dan kesurupan. Ayat yang menyebut kan tentang hal ini, menurut Syaikh Muhammad al-Utsaimin memiliki dua pengertian, yakni di dunia dan di hari Kiamat kelak. 

Beliau menjelaskan bahawa jika ayat itu mengandung dua makna, maka dapat diertikan dengan keduanya secara bersamaan. 

Yakni mereka di dunia seperti orang gila dan kesurupan serta bertingkah layaknya orang kerasukan setan (tidak peduli, nekad). Demikian pula nanti di Akhirat mereka bangun dari kubur juga dalam keadaan seperti itu.

Sedangkan mengenai ayat, ”Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah,” maka beliau mengatakan kehancuran bagi (hakiki) dan maknawi.

Kehancuran benda seperti tertimpa bencana dalam hartanya sehingga habis, misalya sakit yang parah dan mengharuskan berubat ke sana-sini, atau keluarganya yang sakit, kecurian (dirompak), terbakar dan lain-lain, ini merupakan hukuman dunia. 

Atau binasa secara maknawi, dalam erti dia memiliki harta yang bertumpuk-tumpuk tetapi seperti orang fakir kerana hartanya tidak memberi manfaat apa-apa. Apakah orang seperti ini kita katakan memiliki harta? 

Tentu tidak, bahkan ia lebih buruk daripada orang fakir, sebab harta bertumpuk-tumpuk yang ada di sisinya, dia simpan untuk ahli warisnya saja. Sementara dia tidak dapat mengambil manfaat darinya sedikit pun. Inilah kebinasaan harta riba secara maknawi. Wallahu a’lam bish shawab..


Sumber:
  • Majalah as-Sunnah edisi 02/VII/1424/2003 (dengan menyadur)
  • Syarah Riyadhus Shalihin jilid 2, Syaikh Muhammad al-Utsaimin.

Catat Ulasan

Terbaru Lebih lama